Pages

Menelaah Gerakan Pasca-Reformasi


Judul buku: Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjuan Ideologis
Penulis : As’ad Said Ali
Halaman: xii+156
Terbit: Februari 2012
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Harga: Rp. 35.000
Peresensi: Sri Wahyuni*

Sungguh luar biasa dan mengagumkan! Ungkapan itulah yang pantas disematkan di pundak Dr. As’ad Said Ali, lelaki berlatar belakang pesantren nan kuat itu mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada tanggal 11 Februari kemarin. Selepas kuliah di Fakultas Sospol, Jurusan hubungan Internasional UGM (1974), As’ad memilih mengabdi pada Badan Intelijen Negara (BIN). Ia juga pernah mengenyam pindidikan di LIPIA. Kareirnya yang cemerlang di BIN, membuat ia dipercaya bertugas di puluhan negara. Tak salah jika−berbekal pengalaman serta pendidikan yang memadai−buku-buku yang ditulis dan diterbitkannya selalu menarik perhatian pembaca.
            Buku ini merupakan hasil riset pribadi yang As’ad lakukan selama mengabdi di BIN. Kegelisahannya akan ancaman ideologis atas ideologi tunggal negara Indonesia, yakni Pancasila, membuat hatinya terpanggil untuk melakukan riset dan menerbitkan buku ini. Tujuannya tidak lain supaya kita dapat mengambil pelajaran agar “tidak terantuk pada batu yang sama”−setelah melewati fase yang penuh krisis dan kerawan akibat hiruk-pikuk sosial-politik selama 12 tahun yang lalu−serta mempunyai bekal yang cukup dalam menyiapkan langkah ke depan secara lebih bijak.
            Kita tahu, liberalisasi politik pasca tumbangnya rezim otoritarian hampir saja menggoyahkan sendi-sendi kestabilan sosial dan politik serta keamanan di negeri ini. Pasalnya, platform politik luput dari perhatian para elit saat itu. Dalam artian, konsentrasi kaum elit hanya tercurah pada ambisi untuk merubuhkan rezim otoritarianisme, sementara bagaimana masa depan sistem politik baru harus ditata belum sempat terfikirkan. Akibatnya, liberalisasi politik terjadi tanpa kendali yang mapan. Pemilu yang didikuti puluhan partai kembali terjadi di tanah pertiwi. Selain itu, aneka warna gerakan sosial semakin menjamur dan konflik horisontal mewabah di mana-mana.
Ironisnya, kecarut-marutan itu tak juga membuat kaum elit sadar akan ‘kebebasan semu’ yang sedang mereka rayakan. Mereka semakin hanyut terbawa arus eforia politik kekuasaan. Mereka beramai-ramai membentuk partai politik, tokoh-tokoh masyarakat menjadi rebutan untuk mengisi struktur partai. Dan kekuatan-kekuatan ideologi sarat kepentingan (yang hampir mati) pun kembali mendapatkan tempat.
Di Indonesia, dalam catatan As’ad, terdapat lima tipologi besar ideologi politik yang secara aktual menjadi orientasi politik berbagai kelompok gerakan selama masa reformasi. Ideologi-ideologi ini merentang di antara dua ideologi besar, yakni ideologi sekuler dan ideologi berbasis ajaran agama. Kelima tipologi ideologis itu ialah kiri-radikal, kiri-moderat, kanan-konservatif, kanan-liberal dan Islamisme.
Islamisme sebagai ideologi politik pada dasarnya dapat dibagi ke dalam empat kelompok gagasan, yakni Islam modernis, Islam tradisionalis-konservatif, Transformisme Islam, dan Islam Fundamentalis. Seperti halnya tipologi ideologi besar yang bersumber dari pemikiran Barat, masing-masing ideologi Islamisme itu juga memiliki sejumlah varian. (hlm. 64)
Islam modernis selalu berusaha memajukan Islam melalui pengembangan gagasan-gagasan rasionalisme, liberalisme, dan modernisme. Ada yang berorientasi politik, dan ada pula yang menempuh jalan kultural (menolak Islam-politik). Berbeda dengan ideologi Transformisme Islam yang memahami Islam harus menjadi kekuatan progresif dan tranformatif dengan misi menegakkan keadilan, membela yang tertindas, dan melawan kezaliman dalam politik maupun ekonomi. Varian ini memandang modernisme telah menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum miskin, dhu’afa dan mustadh’afin. (hlm. 64-69)
Buku ini menarik untuk kita baca dan apresiasi sebab di dalamnya memuat data-data intelijen yang kaya dan kuat. Selain itu, mempelajari lebih dalam peta ideologi gerakan yang berkembang pasaca reformasi akan membantu kita menjaga keutuhan Pancasila dari serangan ideologis gerakan sosial-politik kontra-Pancasila. Selamat membaca!

Bahwa KAU Mencintaiku






Sri Wahyuni ( Senorita Ceria)


"Aku gadis biasa yang belum dapat menyentuh keindahan langit. Namun aku gadis luar biasa bahagia karena telah memeluk keindahan awan yang bergerak, kehangatan matahari, kelembutan bulan, kesetiaan bintang, dan dapat memandang pelangi yang menawan."




Terima kasih untuk Bunda. Dengan ketangguhannya, melahirkan dan merawatku. Dengan kepayahan yang tak pernah beliau keluhkan. Dengan air mata yang tak pernah beliau tumpahkan dihadapanku. Dengan kesabaran yang tak ada batasnya. Dengan kelembutan yang tak tertandingi. Dengan kata-kata yang menyentuh meski tak seindah para penyair dan semanis para pujangga. Walau kini kau telah tiada disisiku, tapi bunda tetap  menjadi Beautiful in My Heart. Setiap hembusan nafasku akan menjadi do’a untuk Bunda.
Terima kasih untuk Ayah. Telah mengajariku untuk menjadi gadis pantang menterah. Setiap hari pergi keladang tak pernah mengeluh betapa panas matahari menyengat tubuhnya. Semua dilakukan hanya  untuk keluarga.
Terima kasih untuk Kakak-kakakku. Yang telah menyayangiku dan selalu membuat aku tersenyum, kadang sampai lupa dengan kebutuhan kalian sendiri karena berusaha untuk membahagiakanku.
Terima kasih untuk Para Guru. Memberiku ilmu ditengah gurun kebodahan. Memberiku air kehidupan untuk menuntunku mencari cahaya kehidupan. Telah mereka ajari aku arti pertanyaan yang belum pernah aku pecahkan.
Terima kasih untuk Para Sahabat. Karna mereka, aku tahu bahwa hidup adalah pelangi. Mempunyai sejuta warna, dengan perbedaan sifat mereka aku sadar bahwa hidup itu indah. Bahwa perbedaan itu kecantikan yang diberikan Tuhan untuk dinikmati, bukan untuk dijadikan perbandingan.
TUHAN……. Terima kasih memberiku cinta dan orang-orang yang mencitaiku. Memberi mata untuk melihat warna, kaki untuk berjalan diatas keindahan lukisan-Mu, dan tangan untuk menyentuh keajaiban-Mu. Tak lupa hati untuk merasakan Bahwa KAU Mencintaiku.


                                                                                                            Yogyakarta, 11 Mei 2012

Kampusku Tercinta

Fakultas Dakwah
Fakutlas Ushuluddin
Fakultas Saintek
Fakultas Adab
Fakultas Syariah
Fakultas Tarbiyah

Meneguhkan Resistensi Perempuan


Judul Buku: Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek
Penulis: M. N. Ibad
Penerbit: Pustaka Pesantren
Tebal:178 hlm.
Cetakan: 2011
Peresensi: Sri Wahyuni

           




               Sudah menjadi rahasia umum bahwa di balik kebesaran setiap penakluk dunia, di belakang setiap manusia yang melegenda, terdapat perempuan-perempuan agung yang dengan setia menopang kebesarannya. Sayangnya, peran penting para perempuan ini jarang sekali terungkap ke muka publik. Peran signifikan perempuan seperti ‘lenyap’ dan kebebasan mereka pun menurun dengan drastis.
            Padahal, anatara laki-laki dan perempuan saling membutuhkan satu sama lain. Sudah selayaknya laki-laki dan perempuan memahami kelebihan dan kekurangannya masing-masing, serta menyadari kesetaraan dan kebersamaan peran masing-masing. Sebagimana yang Adam dan Hawa dulu contohkan. Adam tidak bisa menjalani kehidupan di surga sendirian, ia membutuhkan sosok perempuan yang menjadi tempat berkeluh kesah serta bisa merasakan apa saja seperti yang ia rasakan: Hawa. Tanpa Hawa, tidak akan terlahir anak-anak Adam. Dan tanpa Adam, Hawa tidak akan pernah bisa mengandung dan melahirkan.
            Apa pun dan bagaimanpun perbedaan yang terjadi dalam kehidupan umat manusia, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri; bahwa kehidupan manusia, di mana pun dan bagaimanapun bentuknya membutuhkan sosok dan peran perempuan. Dalam ragam perjuangan apa pun, kehadiran dan peran perempuan mutlak diperlukan, kerena sudah sejak awal penciptaan, laki-laki (Adam As) membutuhkan pasangannya yang berjenis kelamin perempuan (Hawa). (hlm,17)
            Menurut Gus Dur, seperti yang diungkap dalam buku ini, anggapan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki menjadi anggapan dunia Islam pada umumnya selama ini, meskipun dalam kenyataannya justru sebaliknya. Dalam perjalanannya, Gus Dur justru banyak menjumpai perempuan yang memiliki kecerdasan atau keilmuwan melebihi kaum lelaki. Gus Dur juga mengaku, orang yang paling berjasa dalam membina minat Gus Dur  dalam membaca adalah seorang perempuan bernama Rubi’ah, guru bahasa Inggrisnya.
 Selain Rubi’ah, perempuan yang mempengaruhi Gus Dur adalah Ratih Hardjono. Ia dengan tegas dan berwibawa mengatur jadwal kampanye dan jumpa pers yang dilakukan Gus Dur, dan Gus Dur pun selalu mematuhinya. Sikap patuh ini merupakan salah satu bukti bahwa Gus Dur mengakui kecerdasan perempuan. Sebab itulah, bagi Gus Dur, akal perempuan tidak separuh dari akal laki-laki, tidak seperti yang dipahami umat Islam pada umamnya.
             Sementara Gus Miek mengakui kecerdasan perempuan melalui ungkapan-ungkapannya secara nyata di hadapan beberapa jama’ahnya yang laki-laki. Pernyataan-pernyataan itu mengindikasikan bahwa di dalam jam’iyahnya, beberapa perempuan memiliki kecerdasan di atas laki-laki.
M. N. Ibad, dengan bukunya yang berjudul Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek ini menyajikan potret usaha keras Gus Dur dan Gus Miek dalam meperjuangkan keteguhan resistensi perempuan. Baik Gus Dur maupun Gus Miek, meyakini bahwa setiap perempuan memiliki kekuatan yang tidak berbeda dengan laki-laki, bahkan memiliki potensi untuk menjadi kekuatan perubahan yang luar biasa. Pemikiran maupun gerak Gus Dur dan Gus Miek tentang perempuan─terkait dengan tingkat kecerdasan, kekuatan, kehambaan, kepemimpinan, keibuan maupun perempuan dalam institusi─semua terangkum dalam buku setebal 178 ini. Selamat membaca!